Resensi Buku Puisi "Nyanyian Akar Rumput" Karya
dari
Wiji Thukul
Buku puisi yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput” merupakan buku kumpulan puisi lengkap karya dari Wiji Thukul. Buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2014 Ini memiliki tebal sekitar 248 hlm. Buku puisi yang bertema kerakyatan ini tidak membahas tentang keindahan; estetika; ataupun romantisme, tetapi mengusung tentang kehidupan rakyat, kemiskinan, dan penderitaan rakyat di dalam negeri ini pada saat itu.
Setiap karya puisinya, Wiji Thukul selalu menggunakan bahasa yang sederhana
atau bisa dibilang bahasa sehari-hari. Jadi, mudah untuk dipahamai—menurut saya
pribadi. Buku puisi ini sebenarnya cukup cocok untuk kalian para pembaca yang
berkecimpung di dalam dunia politik sekaligus sastra.
Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus
1963 di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah. Ia terlahir di dalam lingkungan
kalangan buruh dan tukang becak, termasuk ayahanda dari Wiji Thukul sendiri.
Sehingga hal tersebut memengaruhi Wiji Thukul dalam proses penciptaan karya
puisinya. Anak tertua dari tiga bersaudara ini memulai menulis puisi sejak
menduduki bangku SD. Setelah lulus dari SD, ia melanjutkan pendidikannya sampai
pada bangku SMP. Semenjak itulah Wiji Thukul mulai aktif dalam dunia teater.
Wiji Thukul sempat melanjutkan pendidikannya di SMKI (Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia) jurusan Tari pada tahun 1982, tetapi tidak sampai tamat
lantaran ia di DO.
Sebagai seorang penyair, Wiji Thukul
dianggap sebagai simbol dari perlawanan mengenai rezim otoritarianisme Orde
Baru. Hanya ada satu kata: Lawan! berhasil menghidupkan roh yang ingin mencari
jati dirinya. Kalimat menggelegar tersebut terdapat di dalam karya puisinya
yang bejudul “Peringatan”. Hingga sampai saat ini puisi tersebut selalu
digaungkan oleh para aktivis muda untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak
pro terhadap rakyat. Karya puisinya pun sampai meraup beberapa penghargaan
salah satunya yaitu Wertheim Encourage Award di Belanda pada tahun 1991 bersama
W.S. Rendra dan memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien Award pada tahun 2010
atas perlindungan hak asasi manusia.
Namun sangat disayangkan, langkah
yang terlalu berani dan jujur ini malah menuai petaka terhadap Wiji Thukul. Ia termasuk
ke dalam praktik korban penghilangan orang yang dilakukan oleh militer. Hingga
sampai saat ini hilangnya keberadaan dari Wiji Thukul pun masih menjadi
perdebatan—Entahlah, tidak ada yang pasti.
Sebenarnya masih banyak part lagi yang saya hendak sampaikan kepada kawan-kawan, namun saya teringat suatu pesan bahwa kita tidak akan pernah mengerti keindahan laut tanpa kita menyelam ke dalamnya. Salam~
Penulis
Radit Bayu Anggoro
Sumber gambar:
https://www.google.com/search?q=nyanyian+akar+rumput+wiji+thukul&sxsrf=ALeKk00DOiJOHLpNQXSCbAyA-4rBFrT-fA:1628696703640&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjS6t2DqKnyAhWFaCsKHQVbB_8Q_AUoAXoECAEQAw&biw=1366&bih=600#imgrc=AbOOR0XlSVSCRM
Tidak ada komentar: