Mahasiswa
Online
Maret 2020, untuk
pertama kalinya Pemerintah Indonesia mengumumkan kasus Covid-19 di Indonesia.
Segala macam cara pun dilakukan untuk mengantisipasi menyebarnya virus ini.
Situasi ini membuat gaduh seantero Indonesia dan sekolah-sekolah diliburkan
untuk sementara.
Berbulan-bulan
lamanya kegiatan pembelajaran diadakan kembali. Termasuk dibukanya pendaftaran
mahasiswa baru di perguruan tinggi.
Judit adalah
seorang Maba (Mahasiswa baru) dari universitas terkemuka di ibu kota. Setelah
selesai mengurus pendaftaran dan dinyatakan lolos ke perguruan tinggi. Judit memutuskan
untuk pulang ke kampung halamannya.
Kegiatan
pembelajaran dilakukan secara daring. Dalam situasi seperti ini, ternyata
kuliah di ibu kota tidak sesuai dengan yang Judit harapkan. Ia justru mengalami
nasib yang dilematis dan tak tentu arah.
Akibat berjam-jam
menatap layar HP membuat kepala Judit menjadi pusing. Mungkin disebabkan oleh pancaran
sinar radiasi di dalam HP. Ia pun pergi sejenak untuk meredakan pusing
kepalanya.
Ketika Judit
hendak keluar rumah, ia bertemu dengan tetangga sebelahnya. Terus terang Judit
sedikit risih dengan tetangga sebelah rumahnya ini, karena selalu mengomentari
kehidupan Judit.
Kang Rumdin
adalah tetangga Judit. Judit selalu menganggapnya si tukang iri. Selain Judit, ternyata
Kang Rumdin sering mengomentari kehidupan tetangga lainnya tanpa pandang bulu. Melihat
Judit sedang berjalan, tanpa berbasa-basi Kang Rumdin langsung memanggilnya.
“Hey, calon sarjana muda, sudah pulang kau
rupanya. Baru beberapa minggu pergi menuntut ilmu di ibu kota sudah langsung
pulang. Kenapa? Belum bayar uang semesteran,” ujar Kang Rumdin.
Sebenarnya
Judit tidak ingin menanggapinya, karena Judit takut dicap tidak punya etika
sopan santun dengan nada yang sedikit gontai. Ia berkata: “Masalahnya bukan
belum bayar uang semesteran, Kang. Lagi pula situasi di sana sedang tidak
menentu dan sekolahnya juga masih daring. Makanya saya pulang kampung, Kang”.
Sembari memegang kepalanya yang sedang pusing.
“Ishh, untuk
apa kuliah? Bayar mahal-mahal kerjaannya cuman mainan HP doang. Lagian HP kau
itu HP kentang1 mana bisa buat belajar daring? Minimal kau
ini punya HP yang ada gambar apel krowaknya2 baru bisa,” ujar
Kang Rumdin. Mendengarkan ucapan Kang Rumdin gendang telinga Judit hampir saja
pecah. Ditambah lagi kepalanya yang sedang pusing. Karena terus mengomel, Judit
pun pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Melihat Judit
yang pergi begitu saja membuat Kang Rumdin sedikit kesal. Lalu ia berkata: “Dasar
anak muda zaman sekarang, suka main jalan begitu saja kalau sedang dikasih tau.
Bagaimana mungkin ia bisa lulus tepat waktu. Kuliah pun tak jelas apalagi dosennya…”
***
Judit pergi ke
Warkop (Warung kopi) langganannya untuk sejenak meredakan pusing kepalanya dan
meredakan stres akibat kondisi yang tak kunjung pulih. Apalagi tadi ditambah
komentar si tukang iri, Kang Rumdin.
Di Warkop Judit
bertemu dengan kawan lamanya Fismaul. Fismaul berteman dengan Judit ketika
mereka duduk di bangku sekolah dasar. Ia tidak melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi, sebab faktor ekonomi keluarga. Meskipun begitu, ia orang yang sangat
pekerja keras demi menghidupi keluarganya.
Kepribadiannya
yang pekerja keras membuat sikap Fismaul menjadi rendah hati dan kritis dalam
menyikapi segala problematika di sekitar lingkungannya. Melihat kondisi Judit
sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Fismaul pun menyapanya, “Eh, Judit.
Udah pulang kamu? Gimana rasanya
menuntut ilmu di Ibu kota. Wah, pasti seru dapat banyak ilmu sama teman yang
sepemikiran.”
Judit sempat
terkejut ketika melihat Fismaul karena ciri fisiknya yang berubah. Sembari
memesan kopi, Judit melangkahkan kaki ke meja Fismaul. Kemudian ia duduk
disebelahnya. “Iya, nih. Nggak juga, sih. Lagi pula kuliah masih daring belum
sempat kenalan sama teman-teman baru,” ujar Judit. “Enggak enak kuliah daring,
isinya tugas-tugas melulu. Gimana mau seru?”
Sebagai
seorang kawan, Fismaul menasehatinya dengan nasehat yang sederhana. Sambil
merangkul bahu sang kawan yang sedang murung. Lalu ia berkata: “Hey,
kadang-kadang hidup gak seperti apa yang kamu mau. Bersyukur aja dulu, mumpung
masih dikasih rejeki lebih bisa buat kuliah.”
“Bersyukur mah
udah, yang bikin gue gak kuat itu omongan tetangga sebelah. Dikatain kuliah
cuman main-main doang lagi,” ujar Judit dengan ekspresi yang sedikit kesal.
“Padahalkan memang kuliahnya lewat HP atau laptop.”
“Orang-orang
seperti itu biarin aja, paling juga bakal lelah dengan sendirinya. Gue aja
sering dikatain sama tetangga sendiri bahkan sama teman sendiri. Memangnya
salah menjalani kehidupan kita sendiri? Lagi pula perkara rejeki sudah ada yang
mengatur,” ujar Fismaul.
“Kadang suka
heran aja sih, sama orang yang terlalu memikirkan kehidupan orang lain.
Seolah-olah hidupnya seperti tidak ada masalah saja,” ujar Judit. Sembari
meminum kopi yang ia sudah pesan tadi.
“Bumi itu
luas, Jud. Jadi, jangan heran kalau ada tipikal manusia seperti itu. Lagian
omongan orang itu bisa buat evaluasi untuk diri kita sendiri. Omongan orang
terkadang membuat diri kita sadar bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna,” ujar
Fismaul. “Ya, buat pembelajaran aja lah”.
“Wah, tumben
banget otak lu cair. Bener juga apa yang kamu bilang, Fis,” ujar Judith. Seraya
tertawa terbahak-bahak bersama Fismaul.
Perbincangan
membuat mereka lupa akan waktu. Matahari sudah hampir terbenam, tetapi mereka
masih asyik berbincang. Tak ada yang lebih nikmat dari kopi, berdiskusi, dan
bertukar persepsi.[1]
[1] HP kentang: sebutan anak muda zaman sekarang mengenai HP jadul.
2 Krowak: dalam
bahasa Jawa berarti terkikis sebelah atau bekas gigitan yang meninggalkan
bekas.
Tidak ada komentar: