Jalan Menuju Pulang
Bulan Febuari merupakan bulan kelahiran Maya. Sebentar lagi, Maya akan menginjak umur berkepala dua. Ia berencana merayakan ulang tahunya sehabis pulang kerja bersama adik dan keluarganya. Di usianya yang semakin bertambah dewasa, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyusahkan kedua orang tuanya dan ingin menjadi pribadi yang lebih mandiri. Selain itu sebagian penghasilannya dari bekerja, ia sisihkan untuk membiayai kebutuhan sekolah adiknya yaitu Jason.
Maya
bekerja sebagai kasir di toko kue milik Nona Reis bersama tiga rekannya yaitu:
Rey, Armin, dan Freida. Mereka biasa bekerja dari pagi hingga menjelang sore. Jam
kerja mereka jarang menyisihkan waktu luang. Bisa dibilang toko kue milik Nona
Reis ini cukup terkenal di Distrik 1 tepatnya di Kota Yeager.
Letak
tokonya yang strategis membuat toko ini tidak pernah sepi pengunjung. Minimal
lima sampai sepuluh pengunjung datang untuk membelanjakan uang mereka. Ditambah
lagi alunan musik seriosa dari gramofon membuat pengunjung semakin betah di
dalam toko.
Tanpa
terasa jam sudah menunjukan pukul lima sore, Maya beserta rekan-rekannya
bersiap untuk menutup toko. Seperti biasanya, Maya selalu pulang terakhir
karena harus melaporkan keuangan toko kepada Nona Reis. Segera ia bergegas
menuju ke ruangan Nona Reis di lantai satu, lalu mengetuk pintunya.
“Selamat sore, Nona Reis. Bolehkah saya masuk?” ujar
Maya.
“Buka saja pintunya. Lagi pula tidak dikunci,” ujar
Nona Reis.
Di
dalam ruangan Nona Reis sedang mendengarkan berita harian dari siaran radio. Ketika
sedang membicarakan pemasukan dan pengeluaran toko, tiba-tiba siaran radio
hilang dengan sendirinya. Awalnya kami tidak memedulikannya. Lalu selang
beberapa waktu, radio berbunyi kembali. Kemudian radio berbunyi, “Telah terjadi
kesalahan dalam sistem pemerintahan. Sementara, sistem pemerintahan dipegang
oleh pihak militer.” Diucapakan secara berulang-ulang.
Kami sempat kebingungan apa yang dimaksud dengan ucapan tadi. Dirasa tidak ada yang beres, Maya pun meminta izin keluar dari ruangan untuk mencari tahu apa yang tengah terjadi. Maya bergegas turun dari lantai satu, lalu menuju ke pintu keluar. Setelah sampai di luar, ia terkejut melihat kendaraan berlapis baja memadati jalan.
“Mohon tetap tenang dan jangan panik!” ujar seorang komandan dengan pengeras suara, “Kembali ke rumah masing-masing demi keselamatan Saudara-saudara sekalian.”
Orang-orang
di jalan memasang ekspresi kebingungan begitu pula dengan Maya.
Dari
arah belakang, Maya mendengar suara langkah kaki yang sedang berlari. Ia melihat
ke arah belakang ternyata Rey dan Armin. Dengan napas yang terengah-engah,
mereka mengucapkan,
“Orang-orang
menggila di luar sana. Toko-toko dijarah dan pasukan anti huru-hara ada di
mana-mana.”
“Kemana
Freida? Bukankah dia bersama kalian,” ujar Maya bertanya kepada mereka.
Armin
dan Rey pun menjelaskan bahwa mereka berdua terpisah dengan Freida saat
kerusuhan sedang terjadi. Lalu dari jendela lantai satu, Nona Reis memanggil
mereka untuk segera masuk ke dalam toko.
***
Toko
sudah dalam keadaan tertutup rapat, tetapi suara deru mesin kendaraan berlapis
baja masih terdengar dengan jelas. Di dalam toko Nona Reis mengawali pembicaraan.
Ia menduga bahwa pihak militer telah melakukan kudeta. Nona Reis juga mendengar
adanya desas-desus bahwa kursi kekuasan militer telah dikurangi di dalam gedung
pemerintahan.
“Kemungkinan
pihak militer mencoba memprotesnya,” ujar Nona Reis.
Tetapi
sekali lagi, itu hanya dugaan Nona Reis. Tidak ada yang tahu pasti mengenai apa
yang sedang terjadi.
“Lalu,
apa yang harus kita lakukan sekarang?” ujar Armin.
“Menunggu
dan berlindung untuk sementara waktu,” ujar Nona Reis.
Terlalu
lama menunggu membuat kesabaran Maya pun habis. Ia tak bisa menahan lagi
kekhawatirannya. Ia cemas akan keadaan keluarganya dan adiknya.
“Kita
tidak bisa hanya duduk saja dan menunggu situasi aman. Kita harus bergerak dan
mencari tahu!” ujar Maya.
Nona
Reis, Armin, dan Rey pun hanya bisa melongo mendengarkan ucapan Maya.
“Oke,
kalau tidak ada yang mau ikut. Aku akan mencari tahunya sendiri,” ujar Maya
dengan muka kesal.
Rey
dan Armin pun mencoba menahan Maya agar tidak keluar dari toko dan meminta Maya
untuk tidak berbuat gegabah.
“Kau
pikir hanya kau saja yang khawatir dengan keluargamu, begitu pula dengan kami!”
sahut Nona Reis dengan ekspresi geram.
Situasi
pun mulai memanas, baik di dalam toko maupun di luar toko. Maya tak peduli
dengan itu semua. Satu hal ia pedulikan yaitu keadaan adik dan keluarganya.
Maya pun pergi dari toko meninggalkan Rey, Armin dan Nona Reis.
***
Maya
sedang mencari rute teraman untuk menuju ke halte. Ia sempat berpikir bahwa
lorong di samping toko merupakan jalan teraman untuk saat ini. Ya, meskipun lorong
tersebut kotor, bau, remang-remang dan berlika-liku. Maya terpaksa harus
melewatinya karena tidak ada pilihan lain.
Segera
ia berlari menuju ke lorong tersebut dengan sekuat tenaga. Semakin jauh Maya
berlari, ia semakin hilang arah. Entah, sudah berapa banyak lorong yang ia
lewati. Ia berhenti di sebuah lorong yang terdapat empat jalur di dalamnya.
Sembari menghela napas, ia mencoba mengingat-ingat jalan yang menuju ke arah
halte.
Pandangan
Maya terarah pada suatu plang berkarat yang tertempel di dinding bangunan tua. Tulisan itu masih bisa terbaca dengan jelas. Ia
melihat bahwa plang itu bertuliskan, “Arah halte belok ke kiri.” Ia langsung
bergegas mengambil arah kiri dan menuju ke arah halte.
***
Ketika
sudah sampai di halte harapan Maya untuk pulang ke rumah pun semakin bergemilang.
Ia menunggu bus datang sembari berjalan mondar-mandir. Ia berharap bahwa masih
ada bus kota yang masih beroperasi dalam situasi kacau seperti ini. “Aku mohon
datanglah bus. Aku ingin pulang,” ujar Maya di dalam hati.
Sudah hampir setengah jam Maya menunggu bus sendirian tidak ada satu pun orang di sekitar halte. Bus kota yang ditunggu pun tak kunjung datang. Maya pun semakin gelisah dan pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Kegelisahan yang menyelimuti dirinya tidak sedikit pun membantunya. Lalu, Ia mencoba menenangkan dirinya dengan duduk di kursi tunggu halte. Maya mencoba berpikir jernih, tiba-tiba ia teringat bahwa ada telepon umum di belakang halte bus. Segera ia beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke tempat telepon umum itu berada. Sesampainya di sana, ia langsung memasukan uang koin ke dalam lubang telepon tersebut, lalu menekan nomor yang ingin ia tuju.
Tidak
membutuhkan waktu yang lama suara dari telepon pun berbunyi, Maya tak menyangka
bahwa sambungan telepon masih bisa terhubung. Seseorang mengucapkan sesuatu
dari dalam telepon. Maya mencoba mengenali nada suara itu, ternyata Jason
adiknya.
“Halo,
Jas. Ini Kakak Maya. Kemana Ayah dan Ibu, Jas. Apakah kalian baik-baik saja?”
ujar Maya.
“Kak,
Maya!” jerit Jason terkejut, “Kakak di mana? Kami semua baik-baik saja, Kak.”
“Syukurlah,
lalu bagaimana dengan keadaan rumah, Jas?” ujar Maya.
“Kami
tidak tahu persis keadaan rumah sekarang ini, Kak. Sebelum kekacauan terjadi
semakin parah Ayah, Ibu, dan Jason pergi ke rumah Bibi Mey di dekat perbatasan
Disktrik 2. Di sini penjagaan super ketat. Tenang saja tidak usah
mengkhawatirkan kami, Kak. Jason yakin diperbatasan Distrik 2 sangat aman.
Kakak berhati-hati, ya. Jason mengkhawatirkan Kakak,” ujar Jason.
“Iya,
Jas. Kakak akan berhati-hati. Kakak berusaha semampu mungkin untuk pulang
menemui Jason, Ayah, dan Ibu di rumah Bibi Mey. Jas, jaga Ayah dan Ibu. Kakak
sayang Jason,” ujar Maya.
“Selamat
ulang tahun, Kak. Semoga Kakak diberi keselamatan,” ujar Jason.
“Teri-ma…ka-s…”
Tut…tut…
tut… sambungan telepon pun terputus.
***
Sebelum
Maya menggantungkan teleponnya kembali, ia mendengar suara sorak-sorai dari
kejauhan. Ia mendengar seperti teriakan orang yang sedang kesakitan dan
ketakutan di sana. Ia berjalan mengendap-endap dengan rasa waswas. Tidak jauh
Maya melangkahkan kakinya dari halte, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang
amat keras. Sontak ia terkejut dan langsung berlari menuju ke halte bus
kembali. Lalu sesampainya di halte, ia bersembunyi di balik kursi tunggu dengan
mata mengintip dari sela-sela kursi. Dari sela-sela kursi, Maya melihat asap
putih mengepul ke atas.
Duar…Duar…Duar!
Setiap suara tembakan yang dibunyikan, Maya melihat orang-orang berlarian
kesana-kemari. Sepintas dilihat dari penampilan orang-orang tersebut seperti
massa yang mendemo pihak militer, lengkap dengan atributnya. Tanpa ia sadari
sebagian massa pendemo ada yang berlari menuju ke arah halte di mana Maya
sedang bersembunyi. Ia belum sempat keluar dari persembunyiannya. Ia terdesak
dan bertabrakan dengan massa pendemo yang dikejar-kejar oleh pihak militer.
Gas
air mata ditembakkan secara membabi buta, hal ini membuat Maya terbatuk-batuk
dan tidak bisa melihat jalan di sekitarnya. Massa pendemo pun ada yang jatuh
pingsan tak sadarkan diri. Maya mencoba menolong mereka, tapi apa boleh buat
situasi semakin kacau. Pihak militer semakin garang menembakkan senjata-senjata
mereka ke arah pendemo yang berani melawan.
***
Maya
sudah tak sanggup berlari lagi. Ia berjalan terhuyung-huyung seperti tubuhnya
akan roboh. Kemungkinan hal ini disebabkan karena Maya terlalu banyak menghirup
gas air mata. Ia membiarkan dirinya tertabrak oleh gerombolan massa yang
berlarian. Sedangkan, suara tembakkan terus berbunyi.
Tiba-tiba
ada salah satu peluru menyasar ke tubuh Maya. Ia terkena bukan peluru karet,
melainkan peluru tajam yang menembus perutnya. Seketika ia tergeletak dengan
tubuhnya yang bersimbah darah. Sontak massa pendemo mengerubungi Maya dan
mencoba membawanya ke tempat yang aman.
Para
pendemo pun saling bahu-membahu untuk menghentikan darah yang keluar dari perut
Maya. Salah satu pendemo mengatakan bahwa Maya harus dibawa ke rumah sakit
segera. Namun, melihat kondisi kesadaran Maya yang sedikit demi sedikit mulai
menghilang tidak memungkinan bahwa ia akan selamat.
***
Berita
mengenai kematian Maya pun beredar luas melalui siaran radio. Nasib orang-orang
yang sama seperti Maya pun kian melonjak, sebab distrik-distrik lain enggan
bertindak mengenai isu kudeta yang terjadi di Distrik 1. Perlawanan kian masif
dan pihak junta pun semakin represif. Kini yang tersisa hanyalah dimangsa atau
memangsa.
***
Bernama
lengkap Radit Bayu Anggoro, ia akrab dengan panggilan Radit. Pria
berdarah Jawa ini lahir pada tanggal 3 September 2002, Kota Pekalongan, Jawa
Tengah. Kini ia sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta:
Universitas PGRI Semarang, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tidak ada komentar: