Ban Hitam Terbakar di Atas Aspal yang Berdarah
Dari
sudut ruang kelas, Alysia memperhatikan gerak-gerik Gara yang sedang sibuk
dengan ponselnya. Kepalanya tertunduk penuh dengan konsentrasi. Suara menggema
seorang dosen yang sedang mengajar di kelas pun tidak dihiraukannya. Selang
beberapa saat, perkulihan pun selesai.
“Mau
ke mana kau?” ujar Alysia.
Gara yang hendak beranjak dari tempat duduknya menoleh,
“Pindah kelas. Aku ada
perkuliahan lagi selepas ini.”
“Bohong. Apakah kau akan pergi ke sana? Aku sudah mendengar tentang seruan aksi itu.”
Gara hanya menghela napas, lalu pergi meninggalkan kelas.
Geram
dengan kelakuan Gara yang pergi begitu saja. Alysia berlari menyusul langkah Gara
yang tergesa-gesa. Alysia menarik jaket jeans kumal yang dikenanakan oleh Gara dari belakang menuju ke tepi
koridor.
“Berapa
banyak lagi mata kuliah yang harus kau tinggalkan. Sudahlah, tidakkah kau bisa
hanya duduk dan menyempurnakan kalimat-kalimat itu di meja redaksimu?”
“Apa
pedulimu, hah! Bukankah seorang penyunting juga memerlukan kebenaran data dari
lapang? Rakyat butuh jawaban.”
“Hak
rakyat mana lagi yang harus kau bela, Gar? Bila tubuhmu adalah suatu negara,
akulah satu-satunya rakyat yang tak kau perhatikan. Kebenaran katamu? Tidak ada kebenaran dari bunga di atas batu,
Gar! Perasaanku. Perasaanku ini adalah kebenaran. Seandainya bukan karena
perjodohan yang bodoh ini, Gar. Sungguh aku akan membersamaimu."
Segala
penantian akhirnya gugur.
Gara hanya terpaku dan dengan mudahnya menanggapi gelagat dari perasaan Alysia.
“Justru apa yang kau lakukan kepadaku adalah kebodohan. Dunia
menggila katamu? Aku tanya sekali lagi padamu. Yang gila itu kau atau dunia?
Menaruh harapan pada seseorang yang belum tentu bisa menawarkan segalanya
untukmu. Itu adalah kegilaan yang sesungguhnya, Sya! Perjodohanmu itu cahaya dari segala keterpurukan yang akan mendatang. Jangan pernah menyalahkan keadaan.”
Disela-sela
perbincangan, ponsel milik Gara berdering. Kabar dari kedua rekannya yang sudah
menunggu di depan lapangan. Gara segera bergegas
meninggalkan Alysia yang tertunduk lesu.
***
Ketika sedang perjalanan menuju ke Gedung Pemerintahan. Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Gara.
“Nak, bapak dengar di ibu kota sedang terjadi aksi seruan lagi. Bagaimana kuliahmu di sana? Lekaslah pulang, Nak. Penyakit pada tubuh ibumu sudah semakin subur.”
Pesan singkat dari bapaknya membuat raut muka Gara
menjadi pudar.
“Gar, kau ada masalahkah?” tegun rekan Gara.
“Fokus, Gar. Kita turun di sini untuk
mengumpulkan informasi. Janganlah berpikir tentang yang tidak-tidak. Ingat para
aktivis itu butuh asupan.”
Gara
hanya tersenyum menanggapi ucapan dari rekannya.
“Tidak ada apa-apa sudah jangan khawatirkan aku,”
Ia hanya membaca pesan itu dan memasukan ponselnya kembali ke dalam saku.
Sorot matahari pada siang hari kian gahar. Spanduk bertuliskan slogan-slogan bertebaran. Barikade besi sudah terpasang di sepanjang kanan-kiri jalan. Massa bergerak dengan tangan saling bergandengan satu sama lain. Jalanan pun menjadi riuh dipenuhi oleh beragam jas alamamater. Tuntutan-tuntutan yang digaungkan melalui pengeras suara menandakan bahwa jalanan menjadi mimbar bebas.
Segera Gara mengeluarkan kamera dari tas
ranselnya dan mengambil beberapa gambar untuk dijadikan dokumentasi di dalam
majalah kampus nanti. Sejumlah konvoi aparat yang sedang melakukan pengamanan
di depan Gedung Pemerintahan pun tak luput dari pandangan Gara untuk
didokumentasikan.
Gara melangkah semakin dalam di balik padatnya massa seruan aksi. Sedangkan, dua rekan Gara sibuk mengumpulkan informasi dari massa yang mengikuti seruan aksi. Tanpa disadari Gara terpisah dengan kedua rekannya.
Gara mengeluarkan ponselnya untuk memberikan kabar pada kedua rekannya. Keadaan berkata lain ponsel milik Gara kehabisan baterai. Ia membuka tas ranselnya kembali untuk mencari power bank, tetapi tidak menemukannya.
“Assh, sial banget hari ini. Keadaan genting lagi.”
Tidak
jauh dari tempat Gara berdiri terdengar benda keras dipukul-pukul. Kepala Gara
menengok ke kanan dan kiri mencari sumber suara itu berada. Massa yang berdiri
di depan Gara pun beringsut melangkah mundur. Namun, Gara bergerak
maju karena rasa penasarannya.
Suara makian terdengar semakin jelas ketika Gara mendekat. Sesampainya di lokasi kejadian, Gara melihat salah satu aparat keamanan terjatuh dari motornya. Motornya pun menjadi perusakkan massa aksi seruan yang sedang terprovokasi.
Sontak
Gara yang melihat peristiwa itu langsung bergegas dan meredamkan amarah massa
yang sedang terprovokasi. Disusul beberapa orang yang tak dikenal Gara ikut
melerai. Gara pun membawanya ke tempat yang lebih kondusif.
“Bapak tidak apa-apa?”
Aparat keamanan itu hanya menganggukkan kepala dan mencengkram erat bahu Gara
sambil berjalan terseok-seok.
Gara memepah langkahnya perlahan-lahan sampai pada pos penjagaan. Tibanya di sana relawan kesehatan langsung membantu Gara menuntun aparat keamanan itu. Dan, segera membaringkannya.
“Terima kasih. Kalau tidak ada kau entahlah aku akan jadi apa di sana tadi. Boleh tau siapa namamu?”
“Gara,
Pak,” jawab Gara singkat.
Aparat keamanan itu hanya memberikan senyum. Gara pun berpamitan hendak mengambil gambar kembali.
"Hey! Jangan panggil aku 'Pak'. Aku setara dengan usiamu," Teriak aparat kemanan itu dari pos penjagaan. "Hati-hati jangan mudah terprovokasi."
***
Sore pun menjelang. Asap hitam mengepul dengan sangat pekat. Massa yang tak kunjung mendapatkan jawaban mulai membakar ban hitam.
Aparat
keamanan pun menegur agar segara dipadamkan. Namun, hal itu tidak menuai jawaban dari massa yang melakukan seruan aksi. Bahkan beberapa dari mereka malah
mengelilingi nyala api itu seperti sedang melakukan ritual tertentu.
“Tolong
untuk Saudara-saudara sekalian agar bisa mematikan api. Sebelum apinya menjalar
sampai kemana-mana. Berbahaya!” ucap aparat keamanan dari pengeras suara.
Massa
pun mulai mencopoti barikade yang terpasang di depan Gedung Pemerintahan.
Bahkan beberapa dari mereka ada yang nekat untuk menaiki pagar dan tembok di
sekitar gedung. Adu mulut antara aparat yang berjaga dan massa pun tak
terhindarkan sehingga terjadi aksi saling dorong. Situasi pun menjadi tegang
kembali. Sirine peringatan dikumandangkan.
Tubuh Gara terhimpit dan mengikuti arah massa
yang bergerak maju. Posisi Gara untuk mengambil gambar terancam. Ia pun mencari
cela agar tidak terjebak di dalam kerumunan. Sebelum dirinya menemukan cela,
suara tongkat bertumbuk dengan daging terdengar tepat di depan Gara.
“Ah,
ampun sakit,” Suara melolong kesakitan.
“Tenang
Pak. Tenang,” Beberapa massa mencoba untuk menenangkan.
Namun,
massa yang terletak di belakang Gara tidak terima dan melakukan pelemparan batu
ke arah aparat keamanan. Pelemparan batu semakin membabi buta ke segala arah
hingga membuat aparat keamanan mengambil alih kondisi dengan cara paksa.
Tiba-tiba suara letupan mengagetkan Gara. Seketika massa pun berlari mundur. Lari berhamburan tak karuan. Satu hal yang terpenting mereka bisa menjauh dari tembakkan gas air mata.
Gas air mata menggaburkan pandangan Gara sampai dirinya terbatuk-batuk. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Merasa kepalanya pening, Gara pun berhenti berlari. Di tengah-tengah ia berhenti, pelemparan batu masih tetap berlanjut. Tubuh yang lunglai tak menyadari ada batu menyasar mengenai bagian belakang kepala Gara. Ia pun rubuh tak sadarkan diri.
***
Sementara
Alysia sedang berada di kampus. Ia sudah bersiap-siap untuk menyusul Gara ke
Gedung Pemerintahan bersama rekannya, Imah. Tanpa bekal kabar dari siapa pun
Alysia nekat berangkat begitu saja.
Dengan
langkah tergesa-gesa, ponsel di dalam saku celana Alysia berdering.
Segera ia mengecek ponselnya.
“Sya,
kau kenapa Sya?” ucap Imah cemas.
“Gara,
Mah. Ia tidak bersama dengan kedua rekannya saat kerusuhan terjadi.”
Imah pun menarik tangan Alysia dan berlari menuruni tangga kampus.
“Sebentar kita harus menunggu jawaban, Mah. Tidak bisa terburu-buru seperti ini.”
“Sya, kita harus sesegera mungkin ke sana!" gertak Imah.
Mendengar perkataan dari Imah
Alysia hanya menganggukan kepala.
Akses jalan menuju ke Gedung Pemerintahan pun ditutup dan dialihkan menuju ke jalan lain.
“Aduh mbak sepertinya ini tidak bisa untuk lewat. Jalannya macet parah,” ucap supir taksi online.
Alysia dan Imah pun membayar ongkos perjalanan mereka dan turun dari mobil. Mereka berdua berjalan di tengah kemacetan lalu lintas diiringi dengan bunyi klakson yang saling bersahutan. Tinggal beberapa langkah lagi, salah satu aparat keamanan yang berjaga menghadang mereka berdua.
“Stop.
Berhenti! Jangan ke sana, Mbak. Situasi sedang tidak kondusif.”
“Tapi
saya harus ke sana, Pak.”
“Tolong
mengertilah. Saya hanya menjalankan tugas di sini. Ini semua demi keselamatan
kalian berdua.”
Dari arah belakang, salah satu aparat keamanan
mendatangi Alysia lagi dan membuka helmnya.
“Mbak
Alysia? Ini aku, Yono. Temannya Mas Aryo. Mbak Alysia ngapain datang
kemari?
Imah
pun sontak terkejut mendengar perkataan dari Mas Yono bahwa calon suami Alysia
ternyata turut ditugaskan dalam mengamankan aksi seruan.
“Wah,
Yon. Kebetulan kamu di sini. Yon bisa minta tolong kau antar aku menemui Mas
Aryo. Dari tadi kuhubungi tidak bisa.”
“Terakhir
aku melihat Mas Aryo sedang di posko penjagaan, Mbak. Kakinya terkilir karena
terjatuh dari motor saat melakukan patroli keamanan. Nyaris saja beliau hendak
menjadi bahan amukkan massa. Tetapi, beliau diselamatkan oleh salah satu pemuda."
“Astagfirullah,
Mas Aryo. Cepat kau antar kami berdua menemui Mas Aryo.”
“Siap,
Mbak.”
Aparat
keamanan yang menghadang Alysia dan Imah pun memberikan izin masuk. Bahkan
Mas Yono pun turut mengawal mereka berdua masuk menuju ke posko penjagaan di
Gedung Pemerintahan.
***
Mobil
ambulan berlalu-lalang dengan bunyi sirinenya yang darurat. Posko penjagaan
penuh dengan orang-orang yang mengalami luka pada saat melakukan seruan aksi.
Mereka saling membahur dan menolong setiap ada orang yang terluka.
“Tunggu
di sini dulu ya, Mbak,” ucap Mas Yono.
Mas
Yono pergi untuk menemui Mas Aryo yang sedang terbaring lemah. Mas Yono
memberitahukan tentang kedatangan Alysia dan Imah.
“Alhamdulilah kondisi Mas Aryo mulai membaik, Mbak. Silahkan masuk.”
Mas
Aryo terbangun dari tempat berbaringnya. Alysia pun langsung mendekap tubuh Mas Aryo sembari menangis tersedu.
“Sudah,
Dik. Mas tidak apa-apa. Untung saja tadi ada pemuda yang menolong pada saat
terjatuh tadi,” ujar Mas Aryo sambil mengusap-usap kepala Alysia.
Alysia melepaskan dekapannya.
“Kalau boleh tahu siapa pemuda itu, Mas?”
“Aku
tidak begitu tahu tentang pemuda itu, Dik. Pemuda itu tiba-tiba datang dengan
kamera tergantung di lehernya. Ia menghampiri saat dalam keadaan genting.
Usai mengantarkan ke posko penjagaan, ia pergi kembali untuk mengambil
gambar katanya."
Hati Alysia mulai merasa tidak enak.
“Siapa
namanya Mas?”
Mas Aryo mencoba mengingat-ingat nama pemuda itu.
“O,
iya Dik. Namanya Gara kalau ndak salah. Ada apa dengan pemuda itu. Apakah kau mengenalnya?”
Alysia
kemudian menatap Imah yang sedang memandangi kekacauan di balik gerbang Gedung
Pemerintahan.
“Tenang.
Semoga ia baik-baik saja, Sya,” ujar Imah sambil tersenyum meyakinkan Alysia.
Alysia
menatap kosong tanpa sepatah kata pun terucap. Air mata pun luruh untuk yang kedua kalinya.
***
Radit
Bayu Anggoro. Lahir di Kota Pekalongan, 3 September
2002. Sekarang ia sedang menempuh pendidikan di Universitas PGRI Semarang,
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tidak ada komentar: