Nasib Angka-angka yang Tak Seimbang
Dering alarm ponsel mendesak Karyo untuk
beranjak dari ranjang tidurnya. Tangannya lekas meraih ponsel yang terletak tak
jauh dari tempat ia berbaring. Mematikan nada dering alarm yang terdengar
sangat nyeri ketika memasuki rongga kedua telinganya. Memang sungguh sangat
berat bagi remaja yang menginjak usia berkepala dua seperti Karyo terbangun
melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. Lantas, ia segara merapikan
sarung dan membilas mukanya yang sama-sama kusut.
Sebelum berhimpit dengan buruh lain, Karyo
selalu menyempatkan dirinya untuk mampir ke warung yang terletak di bibir gang
kos untuk meneguk secangkir kopi dan mengisi perutnya dengan setangkup nasi
kucing. Sebab, ia jarang memasak di dalam kamar indekosnya. Uang pengembalian
usai membeli sarapan, kerap ia sisihkan untuk membeli lembaran koran.
Karyo sering membeli koran di tempat Pak Gik
biasa mangkal. Ia biasa mangkal di depan mini market hingga menjelang
terik siang tiba. Kulitnya yang keriput serta senyumnya yang ramah membuat
Karyo betah membeli koran di sini. Tidak hanya keramahannya saja yang ia
senangi, tetapi juga Pak Gik sama-sama orang perantauan sama halnya Karyo.
“Koran setunggal nggih, Pak.”
“Oh, nggih monggo, Mas.”
Tangan keriputnya menengadah menerima uang recehan dari Karyo.
Uang receh yang diberikannya kelebihan.
“Dibetho mawon nggih kembaliannya, Pak.”
Pak Gik hanya tersenyum tipis dan mengucapkan
terima kasih. Karyo pun melesat dengan motor bututnya menuju ke pabrik tempat
ia bekerja.
Tibanya di pabrik, Karyo bertengger di pos
satpam sejenak untuk membaca koran. Mungkin, ia tiba masih terlalu dini untuk
melakukan pekerjaannya. Membaca peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi saat
ini: Perselingkuhan seorang pejabat, kekuasaan mutlak, kasus korupsi, perang,
dan lain-lain. Sesekali ia maracau sendiri tak jelas tentang isu berita-berita
tersebut hingga Pak Satpam yang sedang menyeduh kopi pun geleng-geleng melihat
tingkah Karyo.
Deru mesin-mesin pabrik pun telah terdengar. Asap
hitam yang mengepul sudah mulai keluar dari cerebong pabrik. Buruh-buruh lain
sudah berdatangan. Menandakan sudah saatnya Karyo untuk bekerja.
“Pak, niku korannya saya tinggal di
atas meja. Barangkali njenengan mau baca-baca. Saya tinggal kerja dulu nggih,
Pak.”
Pak Satpam hanya mengacungkan tangan jempol
kepada Karyo sambil menyesap kopinya yang encer.
***
Sore menjadikan jalan raya padat merayap. Hampir seluruh pekerja
dari belahan kota ini melakukan perjalanan menuju ke rumah kediamannya
masing-masing. Pijar lampu merah sepanjang jalan yang tak wajar dan kendaraan
yang membeludak dari segala arah semakin memperkeruh suasana kemacetan di kota.
Matahari pun mulai kehilangan sinarnya, malam telah tiba.
Rasa lelah selepas bekerja membuat setengah
energi di dalam perut Karyo terkuras. Ia pun menepikan motor bututnya ke salah
satu warung di pinggir jalan untuk bersantap malam. Hidangan yang tersaji di
dalam etalase bermacam-macam. Namun, Karyo hanya memilih sayur dan nasi saja
dengan dalih menjaga kesehatannya. Tak lupa membungkus dua potongan kepala
pindang untuk kedua kucingnya. Konon, kucing itu milik tetangga sebelah kamar
kosnya yang telah minggat sebelum jatuh tempo. Tidak lama, Karyo pun pergi
melanjutkan perjalanan kembali.
Jalur yang biasa dilewati Karyo sering melewati mini market di mana Pak Gik biasa mangkal menjual koran-korannya. Pada saat di jalan, Karyo memberhentikan sepeda motornya. Ia melihat Pak Gik sedang tertidur di depan pintu mini market yang sudah tertutup. Jarang-jarang Karyo melihat Pak Gik berdagang hingga selarut ini. Bukankah seharusnya ia tidur di pasar? Itu pun kata orang-orang setempat yang mengatakan bahwa ia bermukim di dalam pasar.
Seketika Pak Gik terbangun dari tidurnya. Karyo pun menghampiri.
“Lancar dagangnya, Pak? Kok, Tumben dereng
wangsul.”
Raut mukanya tampak linglung dan menatapi Karyo lekat-lekat.
“Nak Karyo niki,
Pak.”
Mendengar Karyo menyebutkan dirinya, Pak Gik
pun terkekeh sambil mengusap-usap kepalanya. Karyo pun duduk di sebelahnya
dengan sebatang rokok yang tersulut. Ia juga menawarkannya kepada Pak Gik.
Perbincangan pun tak terhindarkan.
Pandangan Karyo terarah pada tas yang terletak
di samping kanan kaki Pak Gik. Banyak serpihan kertas-kertas kecil berserakkan
di sekitarnya. Karyo pun memungutnya satu. Terdapat angka-angka di dalamnya. Ia
tak paham dengan maksud angka-angka itu. Lalu, menanyakannya kepada Pak Gik. Ia
pun menjawabnya bahwa itu adalah salah satu jalan agar bisa pulang kampung.
Karyo pun semakin bingung dengan apa yang dimaksud Pak Gik.
Tas yang terletak di samping kaki kanannya ia
ambil. Pak Gik mengambil salah satu potret anaknya dari dalam tas dan
menunjukkannya kepada Karyo. Anehnya yang satunya lagi, ia tunjukkan potret
anaknya itu terletak di bagian depan sampul buku tahlil.
“Di dalam buku ini, Nak Kar. Anakku berbahagia
bersama ayat-ayat di dalamnya,”
Sungguh begitu cepat waktu telah menggerogoti
ingantannya yang telah lalu.
***
Tepat pertengahan malam, Pak Gik berpamitan.
Karyo sempat menawarkan tumpangan, tetapi Pak Gik hanya menggelengkan kepala dan
memilih untuk jalan kaki saja. Di dalam dada Karyo masih tersemat rasa khawatir
dengan orang tua itu. Berjalan terlunta-lunta sendirian di tengah malam. Agak
sedikit jauh berjalan meninggalkan mini market, Karyo pun membuntutinya
dari belakang. Memastikan bahwa Pak Gik baik-baik saja.
Tiba di perempatan jalan, Pak Gik berbelok ke
arah kiri. Karyo tahu betul itu bukan lokasi menuju ke pasar. Jalan yang
dilaluinya cukup sempit. Terdapat warung remang yang keberadaannya tidak terendus
dari pemukiman warga sekitar. Pak Gik pun berhenti.
Terdapat pria-pria berbadan gagah di
sekitarnya dengan raut muka yang kereng dan beberapa wanita berpakaian
seksi. Tanpa adanya rasa beban apa pun, Pak Gik masuk ke dalam. Tampaknya
orang-orang di sekitar sana sudah cukup akrab dengan dirinya.
Tiba-tiba dari arah belakang punggung Karyo
ada yang menepuk pundaknya. Sontak, ia pun terkejut. Pria berkumis dengan
perawakan tegap menyuruh Karyo untuk pulang. Ia hendak menyalakan motor bututnya
kembali, tak lama ada truk berhenti di depan jalan warung itu berada.
Orang-orang berseragam turun dari belakang kabin truk berlari menuju ke warung
itu.
“Pembersihan. Pembersihan! Ada pembersihan,”
salah satu orang berteriak dari luar warung.
Seketika orang-orang yang berada di dalam
warung itu lari berhamburan. Barang-barang yang berada
di dalam warung pun menjadi berserakkan tak karuan seperti habis dihujam badai.
Pak Gik yang tak tahu menahu apa yang telah
terjadi hanya diam di tempat. Petugas pun menggiring Pak Gik beserta beberapa
orang lainnya yang tertangkap ke bagian belakang kabin truk.
Lantaran Karyo merasa iba dengan Pak Gik. Ia
pun berlari meninggalkan motor bututnya dan turut menuju ke sana. Ia bertanya
kepada orang-orang berseragam itu apa yang telah terjadi. Pria berkumis yang
menepuk pundak tadi menjelaskan.
“Saudara mengerti kertas kecil ini apa?”
Terdapat angka-angka di dalam kertas itu. Kertas
itu sama seperti milik Pak Gik.
“Tempat inilah yang menjadi biang kerok kertas-kertas
kecil ini beredar. Orang-orang itu mempertaruhkan keberuntungannya di dalam
sini. Sebagaian dari mereka yang tak beruntung akan menggelendang hidupnya.
Kertas ini: Togel!”
“Apakah Saudara terlibat dengan orang-orang
ini?”
Karyo hanya diam.
Uang receh yang Pak Gik dapatkan dari
berdagang koran sungguh tidak setimpal dengan apa yang ia pertaruhkan. Nasib
dan riwayatnya kini telah lenyap secara bersamaan. Keterasingan akan
membersamainya ketika mendekam di dalam tahanan.
***
Tidak ada komentar: